Anggap Lebih Mahal dari Sekolah Swasta, Seorang Wali Murid Menyesal Menyekolahkan Anaknya di SMAN 1 Nganjuk -->

Javatimes

Anggap Lebih Mahal dari Sekolah Swasta, Seorang Wali Murid Menyesal Menyekolahkan Anaknya di SMAN 1 Nganjuk

javatimesonline
29 April 2025

Tampak depan SMAN 1 Nganjuk

NGANJUK, JAVATIMES -- Dunia pendidikan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dikabarkan sedang tidak baik-baik saja.


Pasalnya, sejumlah orang tua siswa atau wali murid dari berbagai sekolah mengeluhkan iuran rutin dengan dalih uang sumbangan.


Keluhan itu salah satunya disampaikan orang tua siswa SMAN 1 Nganjuk bernama Wati (bukan nama sebenarnya).


Tidak Tahu Kegunaannya

Wati bercerita bahwa setiap semester dirinya diminta untuk membayar Rp 600.000.


Nominal itu, menurut pengakuan Wati berlaku untuk seluruh siswa SMAN 1 Nganjuk. 


Saat ditanya kegunaannya, Wati mengaku tak tahu menahu. Karena menurutnya sejak awal tidak ada kejelasan soal penggunaan anggaran.

Saya tidak tahu digunakan untuk apa saja, ucap Wati saat ditemui di kediamannya baru-baru ini.

 

Ditentukan Nominalnya

Bahkan saat awal masuk, Wati menyebut tak tahu berapa besaran sumbangan yang harus diberikan kepada pihak sekolah melalui pengurus komite.

Saya kira yang namanya sumbangan kan terserah, ya, semampu kita memberinya. Tapi nggak tahunya ditentukan nominalnya, bebernya


Terlebih besaran nominal itu diketahuinya bukan dari pengurus komite, melainkan dari wali kelas anaknya berinisial E.

Saya tahu bahwa per semester bayar Rp 600ribu itu setelah diberi tahu wali kelas anak saya bahwa saya masih memiliki tanggungan, bebernya.


Saat itu, menurut Wati, dirinya sudah mengirim uang sebanyak Rp 2,4 juta ke rekening komite sekolah. Bukti pengiriman itu lantas diberikan kepada wali kelas anaknya melalui pesan WhatsApp.


Betapa kagetnya saat Wati menerima balasan dari wali kelas berinisal E, di mana dikatakan bahwa Wati masih memiliki tanggungan sebesar Rp 200ribu.

Saat saya tanya kekurangan uang itu, wali kelas menyebut bahwa Rp 2juta merupakan uang investasi, sementara yang Rp 600itu untuk partisipasi. Kalau nominalnya sudah ditentukan begini, ini namanya bukan sumbangan, tapi iuran rutin, tegas Wati.

 

Menyesal

Atas hal tersebut, Wati mengaku menyesal menyekolahkan anaknya di SMA yang berstatus negeri, karena biaya yang dikeluarkan dianggap lebih mahal dibanding SMA swasta yang ada di Kabupaten Nganjuk.

(SMA) negeri kok ngalah-ngalahne swasta. Pengennya sekolah (SMA) negeri biar dapat keringanan kok jadi tambah mahal, ucapnya.


Kini, Wati hanya bisa pasrah dengan banyaknya pengeluaran yang dibutuhkan anaknya sekolah. Bahkan hingga kini, dirinya juga masih memiliki sejumlah tunggakan yang belum dibayarkan.

Mau bagaimana lagi, mas. Bapaknya (anak saya) sudah meninggal dunia, yang kerja tinggal saya saja. Saya mau utang juga takut tidak bisa bayar, jadi saya pasrah saja, tandasnya.

 

Tanggapan Sekolah

Sementara itu, Kepala SMAN 1 Nganjuk melalui Waka Humasnya bernama Triana tidak membantah jika ada sejumlah sumbangan yang dibebankan kepada orang tua siswa.


Ia berdalih bahwa nominal sumbangan itu sudah sesuai kesepakatan bersama.


Lebih jauh, Waka Humas SMAN 1 Nganjuk ini juga tidak menampik adanya tenaga pendidik atau guru yang ikut serta dalam mengingatkan siswa dan orang tua siswa terhadap tunggakan yang belum terbayar.

Untuk juru (tagih dari tenaga pendidik) ke kelas tidak ada, (tapi) kalau mengingatkan insyaallah kan biasa ya, kata Triana saat ditemui wartawan media ini, Rabu (12/3/2025).


Mewajarkan Sikap Tenaga Pendidik

Menurutnya jika tenaga pendidik hingga wali kelas mengingatkan siswa dan orang tua siswa untuk melunasi tunggakannya adalah hal yang wajar.

Mengingatkan itu saya kira wajar, tapi kalau untuk menagih di kelas sampai wali kelas datang, ayo sini (bayar), endak, aku dia.


Komite dan Sekolah Kerjasama

Dikatakan Triana, alasan tenaga pendidik mengingatkan siswa hingga orang tua siswa karena adanya kerjasama dan permintaan dari komite.

Komite misalnya, programnya tidak jalan misalnya, terus komite siapa kira-kira, apakah komite masuk ke kelas-kelas, kan gak mungkin ya, bu, ya. Komite misalnya, terus minta tolong, kan memang komite bekerja sama dengan sekolah, kata Triana.


Namanya kerja sama kan di situ ya kerja sama. Kalau dimintai tolong itu ya kita (lakukan), itu pun juga untuk kemajuan sekolah. Terus kita dimintai komite, terus kita menolak, karena kita takut LSM misalnya, atau misalnya media, ya programnya gak jalan dong nanti, imbuhnya.


Bahasa Sudah Diolah

Triana melanjutkan, bahasa yang digunakan untuk mengingatkan siswa dan orang tua siswa juga telah disiapkan sebelumnya, sehingga diharapkan tidak menyinggung mereka. 

Gini mas, namanya mengingatkan, itu kita tergantung bahasanya. Jadi bahasa kita itu benar-benar, kita mengolah dan itu memang kita siapkan. Artinya begini, jangan sampai niat kita yang dimana diminta tolong komite misalnya, minta tolong seperti itu, jangan sampai mengganggu anak-anak, jangan sampai orang tua yang itu tersinggung, dan seterusnya. Itu kita jaga mas, dalihnya.


Sementara saat ditanya apakah bisa dipastikan jika bahasa yang digunakan para tenaga pendidik saat mengingatkan kekurangan tunggakan tidak menyingung, Triana tak bisa memastikannya.

Kalau memastikan 100 persen, tidak mas. Tapi namanya kita berusaha dan itu kita memberi (mandat) wali kelas, itu wali kelas pilihan, tandasnya.



(AWA)