Letter C Bukan Alat Bukti Sah Kepemilikan Hak Atas Tanah -->

BPN

BPN

Javatimes

Letter C Bukan Alat Bukti Sah Kepemilikan Hak Atas Tanah

javatimesonline
02 Februari 2025
H.M. Aris Mujono, SH, MH

OPINI, JAVATIMES - Perselisihan atas kepemilikan tanah, yang kerap terjadi diera sekarang cukup memprihatikan, dimana kasus perkara perdata tanah yang ditangani oleh pengadilan di Indonesia pertahun rata-rata ada sekitar 3 ribu putusan.


Sementara Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang dikenal sebagai UUPA yang terbit lebih dari 60 tahun lalu, disinyalir belum mampu menyelesaikan urusan keabsahan kepemilikan tanah dan dinilai masih carut-marut.


Pasalnya, kesemrawutan tersebut, salah satunya disebabkan oleh ketidak konsistennya sikap pemerintah dalam menangani kemelut pertanahan. Sementara UUPA dan berbagai turunan peraturannya sudah sangat bagus, tetapi, penerapannya yang kurang konsisten.


Seperti yang saat ini terjadi di Kabupaten Nganjuk, dimana para pihak yang berselisih masih menggunakan alat bukti hak-hak lama seperti letter C (girik), letter D (petok), verponding dan sebagainya.


Sementara sejak Oktober 1987, letter C hanya sebagai catatan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) bukan sebagai bukti kepemilikan tanah. 


Sedangkan kasus yang saat ini lagi menghangat yakni perselisihan tanah di Desa Bagorwetan Kecamatan Sukomoro Kabupaten Nganjuk. Dimana pemilik tanah yang sah, seakan dikalahkan oleh orang yang mengaku memiliki girik atau petok yang terkategori bukan asli lagi. Terlebih pada nomor letter C terdapat coretan (ditindih nomor baru) di tipp ex, sehingga keabsahannya dipertanyakan.


Perebutan Tanah, Kenapa Bisa Terjadi?

Perebutan atas hak kepemilikan tanah, tentu tidak bisa dilakukan sendiri, hal ini pasti ada keterlibatan pihak lain, bisa jadi orang yang merebut hak tersebut, bekerjasama dengan pihak desa, ahli hukum ataupun pihak-pihak lainnya.


Bisa juga pelaku Perebutan itu, melakukan penekanan-penekanan dengan pengaduan pidana hingga melakukan tindakan kekerasan, sehingga pemilik tanah yang sah menjadi takut dan menjadi pihak yang dipersalahkan oleh ketidakadilan.


Sedangkan pengakuan atas kepemilikan tanah bukan hanya menunjukkan girik, tetapi dengan pembuktian yang jelas menurut hukum. Berdasarkan Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menerangkan bahwa hak milik, demikian pula peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.


Sedangkan bunyi Pasal 19 yakni, mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti kepemilikan tanah. 


Masih banyak masyarakat yang mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, yang Kutipan Letter C berada di Kelurahan/Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah. 


Disamping itu, masih terjadinya peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi peralihan hak yang dasar perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang didasarkan oleh akta-akta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan.


Sementara, dengan hanya mengandalkan alat bukti kepemilikan berupa girik tanpa ada riwayat atas kepemilikan tanah yang sah menurut hukum, akan menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan atau ketidakpastian mengenai obyeknya.


Alat Bukti Kepemilikan yang Sah Menurut Hukum

Sertifikat tanah sebagai surat keterangan tanda bukti kepemilikan atas sebidang tanah atau pemegang hak atas sebidang tanah, serta yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat, meski masih dapat dilakukan pembuktian atas sertifikat atas sah tidaknya melalui keputusan pengadilan.


Sertifikat dan dokumen kepemilikan seperti akta jual beli, bukti pembayaran pajak tanah, Letter C merupakan hal yang sangat penting karena merupakan bukti yang sah atas kepemilikan tanah. 


Tanpa memiliki sertifikat dan dokumen kepemilikan, penjual maupun pembeli tanah akan menduduki posisi yang lemah di mata hukum. Apalagi transaksi jual beli tanah tanpa pembuatan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT karena PPAT adalah pejabat yang berhak membuat akta jual beli.




Penulis : H.M. Aris Mujono, SH, MH 

Ketua DPC KAI Kabupaten Nganjuk.