Soal Diklat Pemdes se-Kecamatan Lengkong di Surakarta, Pengamat Kebijakan Publik: Cenderung Mempertontonkan Perilaku Hedonis -->

Javatimes

Soal Diklat Pemdes se-Kecamatan Lengkong di Surakarta, Pengamat Kebijakan Publik: Cenderung Mempertontonkan Perilaku Hedonis

javatimesonline
26 Desember 2024

Pengamat kebijakan publik, Anang Hartoyo merespon ramainya diklat peningkatan kapasitas kades berikut aparatur pemerintah desa se-Kecamatan Lengkong di luar daerah

NGANJUK, JAVATIMES -- Baru-baru ini pemerintah desa (pemdes) se-Kecamatan Lengkong, Kabupaten Nganjuk ramai menjadi perbincangan publik.


Hal itu lantaran kepala desa (kades) berikut aparatur pemerintah desanya lebih memilih menggelar pendidikan dan latihan atau diklat bertajuk "Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa 2024" di luar daerah, dibanding di daerah asal.


Padahal, semua peserta bahkan pemateri berasal dari Kabupaten Nganjuk dan sekitarnya.


Bahkan, dalam sebuah potongan video yang beredar luas di media sosial, kegiatan tersebut juga turut diwarnai aksi joget-joget dari hampir semua peserta.


Berpotensi Membuang Anggaran

Merespon hal itu, pengamat kebijakan publik, Anang Hartoyo ikut buka suara. Menurutnya, praktik tersebut berpotensi membuang anggaran tanpa manfaat yang jelas bagi masyarakat.

Kami mendukung peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan desa jika memang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tapi, jika hanya untuk formalitas tanpa hasil nyata, ini harus ditinjau kembali, karena hal tersebut berpotensi membuang anggaran, ucap Anang kepada Javatimes, Kamis (26/12/2024).


Lebih jauh, ia juga menyoroti maraknya kegiatan peningkatan kapasitas yang digelar di luar daerah, bahkan di luar provinsi. Seperti halnya pemdes se-Kecamatan Lengkong yang menggelar kegiatan tersebut di Kota Surakarta, Jawa Tengah.


Semestinya, kata Anang, jika tujuannya untuk peningkatan sumber daya manusia aparatur pemerintahan desa, terlebih peserta dan pematerinya berasal dari daerah setempat, maka sudah seharusnya untuk diadakan di daerah asal untuk menekan biaya, menambah PAD, dan dapat melibatkan penyedia jasa lokal.

Mengadakan kegiatan di luar daerah, seperti di Surakarta, tentu ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, seperti perjalanan dinas, akomodasi, transportasi, dan konsumsi, ungkap pria kelahiran tahun 1989.

  

Ketidakpekaan Sosial dan Moralitas Publik

Lebih lanjut, Anang juga menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan di luar daerah mengindikasikan ketidakpekaan sosial dan moralitas publik, khususnya kepala desa dan perangkat desa selaku pejabat publik. Apalagi kegiatan tersebut juga diiringi dengan aksi joget-joget.

Aksi joget-joget yang viral di media sosial mencerminkan ketidakpekaan sosial terhadap kondisi masyarakat. Dalam konteks politik kritis, hal ini menunjukkan degradasi moralitas pejabat publik yang cenderung mempertontonkan perilaku hedonis di tengah penggunaan dana yang bersumber dari pajak dan kontribusi masyarakat, tegas Anang.

 

Sehingga kesan yang ada di masyarakat, mereka seperti ‘jalan-jalan’ tanpa ada implementasi nyata. Ini tentu bisa menciptakan citra buruk bahwa mereka lebih mementingkan kenyamanan pribadi daripada kepentingan warganya, imbuh pria asal Nganjuk itu.


Dugaan Penyalahgunaan Wewenang

Lebih dari itu, pengacara yang berkantor di Kecamatan Kertosono ini juga mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut berpeluang terjadinya penyalahgunaan wewenang, khususnya kewenangan kades.

Jika pelaksanaan kegiatan ini terbukti tidak sesuai tujuan, maka kades dan aparatur pemerintah desa dapat diduga melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni perbuatan yang merugikan keuangan negara dengan menyalahgunakan wewenang, ungkap Anang.

 

Meminta Evaluasi dan Audit

Untuk itu, Anang mendesak agar dinas terkait melakukan evaluasi terhadap kegiatan tersebut. Ia juga meminta aparat penegak hukum (APH) dan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dapat segera melakukan audit terhadap penggunaan anggaran desa terkait kegiatan tersebut.

Pemkab Nganjuk dalam hal ini Inspektorat bersama-sama dengan APH harus melakukan audit terhadap penggunaan anggaran desa terkait kegiatan tersebut untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, desak Anang.


Selain meminta untuk melakukan evaluasi dan audit, Anang menyarankan kepada pemangku kebijakan untuk melakukan penguatan regulasi lokal.

Pemerintah daerah dapat memperkuat regulasi mengenai batasan pengeluaran untuk perjalanan dinas atau pelaksanaan kegiatan di luar daerah, mungkin dengan membuat regulasi peraturan kepala daerah dengan juknis dan juklaknya, kata Anang menyarankan.


Sekadar informasi, dalam kegiatan peningkatan kapasitas yang diikuti kades berikut aparatur pemerintah desa se-Kecamatan Lengkong menelan anggaran tidak sedikit. Anggaran tersebut mencapai lebih dari Rp 300juta yang berasal dari dana desa.




(AWA)