Respon Ketua MIO Kabupaten Nganjuk menanggapi pernyataan oknum kades di Kabupaten Nganjuk
NGANJUK, JAVATIMES -- Aksi joget-joget di acara pendidikan dan pelatihan (diklat) peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan desa se-Kecamatan Lengkong, Kabupaten Nganjuk, terus menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat setempat.
Terlebih, ada momen yang cukup disayangkan pasca beredarnya potongan video aksi joget-joget sejumlah kepala desa (kades) dan aparatur pemerintahan desa se-Kecamatan Lengkong di salah satu hotel di Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Di mana salah seorang oknum kades terkesan ikut mengatur dan melarang wartawan dalam menayangkan sebuah pemberitaan.
Kejadian tersebut terjadi saat kontributor Javatimes hendak mengkonfirmasi adanya aksi joget-joget dalam acara diklat peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan desa se-Kecamatan Lengkong.
Tapi aku njaluk tulung yo mas yo, aku njaluk tulung, sing sampean mau, sing sampean aturno joget-joget yo rausah diangkat kuwi (tapi saya minta tolong ya mas, yang Anda sampaikan soal joget-joget tidak perlu diangkat dalam pemberitaan), ucap Kades Balongasem yang juga koordinator acara diklat, Bowo Fitrianto, Rabu (25/12/2024).
Bowo meminta agar tak perlu dimuat lantaran rangkaian kegiatan dalam diklat peningkatan kapasitas tidak sekadar berjoget-joget saja.
Yo jangan, jangan (diangkat dalam pemberitaan), ya dalam artian gini, di dalam rangkaian itu, untuk yang itu kan untuk refreshnya teman-teman, saya kira kan, kalau itu nanti jenengan angkat untuk joget-jogetnya, padahal rangkaian yang lain kan banyak, kan bukan itu saja, pinta Bowo.
Bowo khawatir, jika hal itu muncul di pemberitaan, esensi diklat peningkatan kapasitas tidak terlihat secara utuh.
Bahasanya nanti kan, akhirnya kan peningkatan kapasitasnya itu tidak kelihatan, itu loh, kalau (aksi joget-joget) itu yang dimunculkan, beber Bowo.
Lah itu, akhirnya kalau jenengan yang angkat isunya seperti itu, poinnya gak dapat mas, itu kan poinnya peningkatan kapasitas.Padahal kita melaksanakan betul, gitu loh, tambah Bowo.
Lebih jauh Bowo menginginkan, agar pemberitaan tidak mengambil satu sudut.
Lah ya harusnya jangan ambil satu sisi toh mas, jangan ambil satu sudut, itu loh. Lah ambilnya harusnya ya all (semua), jangan satu sudut, kalau gitu kan satu sudut mas jenengan ngambilnya, tuturnya.
Kalau saya cuma menginginkan itu, isu utamanya itu jangan joget-joget lah, kan gitu, tapi peningkatan kapasitasnya lah, kalau (aksi joget-joget) itu dimasukkan di dalam bagian dari itu sih gak masalah, tapi isu utamanya jangan joget-joget lah mas, kan gitu kan, imbuhnya.
Tak pelak, pernyataan oknum Kades tersebut menuai reaksi dari Ketua Media Independen Online (MIO) Indonesia Kabupaten Nganjuk, Prayogo Laksono.
Kepada awak media di Kabupaten Nganjuk, Prayogo menyatakan bahwa pernyataan oknum kades tersebut secara tidak langsung telah mencoreng tugas wartawan. Prayogo lantas mengecam pernyataan oknum kades yang terkesan mengatur dan melarang wartawan dalam menulis pemberitaan.
Seharusnya seorang kepala desa paham tentang kerja jurnalistik, di mana mereka bekerja melakukan liputan telah dilindungi oleh Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999, beber Prayogo.
Diuraikan Prayogo, dalam Pasal 4 UU Pers Ayat (1) tersebut dijelaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kemudian pada Ayat (2), pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Maka atas dasar itulah, mereka bisa melakukan peliputan dan tidak boleh dihalangi atau dilarang selama sifatnya peristiwa atau fakta, urai Ketua MIO Indonesia Kabupaten Nganjuk.
Sehingga, apabila ada penghalangan dan pelarangan saat wartawan melakukan konfirmasi guna peliputan berita, baik itu konfirmasi secara tatap muka ataupun via telpon, maka siapa pun orangnya bisa dikenakan sanksi sesuai Pasal 18 Ayat (1) UU Pers.
Di mana dalam Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta, paparnya.
(AWA)