Trah Bupati Nganjuk Terdahulu Ungkap Kekecewaan Tidak Dilaksanakannnya Budaya Manusuk Sima oleh Pemkab Nganjuk -->

Javatimes

Trah Bupati Nganjuk Terdahulu Ungkap Kekecewaan Tidak Dilaksanakannnya Budaya Manusuk Sima oleh Pemkab Nganjuk

javatimesonline
21 April 2024

Prosesi Manusuk Sima oleh sejumlah komunitas pecinta sejarah dan trah Bupati Nganjuk terdahulu

NGANJUK, JAVATIMES -- Biasanya, peringatan Hari Jadi Nganjuk selalu dirayakan dengan pawai alegoris dan ritual prosesi boyongan pusaka dari Berbek ke Nganjuk. Bahkan ada pula prosesi budaya Manusuk Sima di situs Candilor, Kecamatan Loceret. Namun pada perayaan HUT ke-1087, banyak agenda yang mulai ditinggalkan oleh Pemerintah Kabupaten Nganjuk.


Atas kondisi itu, membuat sejumlah pihak mengungkapkan kekecewaannya. Karena semestinya peristiwa bersejarah cikal bakal pendirian daerah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten (Pemkab) setempat untuk terus melestarikannnya.


Kekecewaan itu seperti halnya yang disampaikan trah Bupati Kadipaten Nganjuk 1830 Raden Tumenggung Broto Dikoro, Yuli Kuntadi.

Sangat kecewa (pada tahun ini tidak diadakan Manusuk Sima). Mestinya Pemkab (Nganjuk) yang melaksanakan, tapi ini dilaksakan oleh komunitas, pemerhati sejarah, dan trah Bupati Nganjuk, ujar  Yuli Kuntadi kepada Javatimes, Minggu (21/4/2024).

Trah Bupati Kadipaten Nganjuk 1830 Raden Tumenggung Broto Dikoro, Yuli Kuntadi didampingi trah Kanjeng Jimat, Cuk (ka-ki)

Trah Bupati Kadipaten Nganjuk kelima ini berharap Pemkab Nganjuk memiliki ketegasan dalam menetapkan peristiwa bersejarah Manusuk Sima. Karena hal itu sangat melekat dan menjadi hal yang tidak terpisahkan dari keberadaan Nganjuk itu sendiri.

Harapan kita ada kepedulian dan tindak lanjut dari Pemkab Nganjuk untuk menetapkan budaya Manusuk Sima setiap tahun yang berpusat di Candi Lor, ungkap Yuli Kuntadi yang juga diamini trah Bupati Nganjuk lainnya.

 

Hal yang sama juga disampaikan Humas Komunitas Pecinta Sejarah Nganjuk (Kotasejuk), Sukadi. Pria yang juga berprofesi sebagai tenaga pendidik itu menyayangkan sikap Pemkab Nganjuk yang abai terhadap pelestarian peristiwa bersejarah, terutama peristiwa yang sangat erat kaitannnya dengan hari jadi Kabupaten Nganjuk yang baru-baru ini dirayakan.

(Manusuk Sima) ini momen bersejarah yang sangat erat kaitannnya dengan hari jadi Nganjuk ke-1087. Apalagi referensi atau dasar penetapan hari jadi Nganjuk berasal dari prasasti Anjuk Ladang atau yang sering disebut Jaya Stamba. Di mana dalam isi prasasti tersebut terkandung prosesi Manusuk Sima, kata Sukadi.


Dengan tidak dilaksakannnya budaya Manusuk Sima oleh Pemkab Nganjuk, maka ini menjadi catatan yang sangat mengecewakan. Semoga ke depan Pemkab Nganjuk memiliki kepedulian untuk terus melestarikan budaya yang ada di Kabupaten Nganjuk, terutama yang bersinggungan langsung dengan cikal bakal pendirian Nganjuk ini, imbuh Sukadi.


Manusuk Sima

Prosesi budaya Manusuk Sima

Perlu diketahui, penetapan hari jadi Nganjuk bersumber pada Prasasti Anjukladang 10 April 937 silam. Salah satu isinya yakni prosesi Manusuk Sima yang dilaksanakan di Candi Lor.


Prosesi tersebut merupakan upacara penetapan sima yang pernah dilakukan rakyat Kakatikan Anjuk Ladang 1087 tahun silam.


Saat itu, rakyat Anjuk Ladang mengundang sejumlah pejabat dari Kerajaan Mataram Medang bersama rajanya. Mereka turut menjadi saksi prosesi penetapan sima bersama kepala desa, tetangga dan rakyat Anjuk Ladang sendiri.


Prosesi Manusuk Sima diawali dengan arak-arakan rombongan Mpu Sindok, pejabat kerajaan dan rakyat Anjuk Ladang. Hal itu menggambarkan kebersamaan. Mereka berjalan menuju Bangsal Witana di Candi Sri Jayamerta atau Candi Lor.


Arak-arakan dipimpin oleh seorang makudur atau pemimpin upacara sambil membawa dupa. 


Sang makudur didampingi oleh widhihti yaitu asisten makudur berjalan perlahan. Kemudian diikuti Mpu Sindok dan dua istrinya yakni Dyah Kebi dan Dyah Mangibil, dua Mahamantri yaitu Mpu Sahasra dan Mpu Baliswara, Kanuruhan Pu Da, Samgat Anjukladang didampingi Mpu Mahaguru dan Mpu Ghoksanda.


Menyusul para prajurit Medang, Jatu Ireng, Susuhan, Sahitya, Kunda, Buyut Manggali, Madhura Lokaranjana, kemudian beberapa prajurit Anjuk Ladang dan beberapa kepala desa tetangga.


Sampai di depan pintu gerbang Sang Hyang Prasada Sri Jayamerta, mereka disambut sebuah tarian kehormatan, yaitu Tari Maheswara. Dilanjutkan pemberian hadiah atau pasak-pasak kepada semua yang hadir, sebagai saksi dalam upacara penetapan sima Anjukladang.


Pemberian hadiah diberikan oleh Sang Kepala Sima bernama Samgat Mpu Anjukladang, kepada Raja Mataram Medang Mpu Sindok. Berurut-turut hadiah diberikan kepada Mpu Sahasra dan Mpu Baliswara, Kanuruhan Pu Da, Mpu Mahaguru dan Mpu Ghoksanda, kepala desa Tepis Wiring, serta seluruh undangan yang hadir turut menjadi saksi upacara penetapan sima Anjukladang.


Selesai mengikuti jalannya pemberian hadiah, mereka berjalan menuju Bangsal Witana. Sang makudur dan widhihti menuju bawah Bangsal Witana, sedangkan para pengiring berdiri mengelilingi Bangsal Witana.


Ketika semua saksi penetapan sima sudah siap mengikuti jalannya upacara, mulailah sang makudur memimpin jalannya upacara. Upacara Manusuk Sima dimulai dengan menyembelih kepala ayam berlandaskan kulumpang, membantingkan telur pada  batu sima, serta menebar debu ke angkasa, sambil mengucapkan kutukan.


Maknanya adalah apapun yang sudah ditetapkan oleh sang raja tidak dapat terulang kembali. Dan kepada siapa saja yang melanggar sumpah yang telah ditetapkan, maka mereka akan mendapat karmanya.


Terakhir, tambah Sukadi, yakni prosesi makan dan minum. Masyarakat Anjuk Ladang yang turut menjadi saksi Manusuk Sima bersenang-senang untuk merayakan penerimaan hadiah tanah Swatantra dari Raja Sindok dengan berbagai hiburan.


Dalam prasasti disebutkan, makanan berupa nasi buceng yang dilengkapi dengan kulupan yang seperti sekarang ini biasa dilakukan oleh masyarakat Nganjuk saat selamatan. Sedangkan hiburannya bernama Widu Manidung atau mungkin disebut Kesenian Tayub. Karena itu dijelaskan satu penari wanita dikelilingi para pengibing. Dan yang turut menari diawali dari pejabat yang paling tinggi, mungkin Raja Sindok juga ikut ngibing.



(AWA)