Berkedok Pengukuran Tanah, Panitia PTSL dan Perangkat Desa Kepanjen Pace Diduga Raup Keuntungan Pribadi -->

Javatimes

Berkedok Pengukuran Tanah, Panitia PTSL dan Perangkat Desa Kepanjen Pace Diduga Raup Keuntungan Pribadi

javatimesonline
04 Maret 2023

Ilustrasi

NGANJUK, DJAVATIMES -- Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang seharusnya ditujukan untuk memudahkan warga mengurus sertifikat tanah, justru menjadi lahan dugaan pungutan liar (pungli) bagi segelintir oknum. Seperti yang terjadi di Desa Kepanjen, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk.


Sebelumnya, Badan Pertahanan Nasional (BPN) menetapkan Desa Kepanjen sebagai salah satu penerima program PTSL. Sebanyak 900 bidang tanah milik warga menjadi sasarannya.


Kesepakatan Rp 150 per Pemohon

Merespon hal tersebut, Kepala Desa Kepanjen Sugeng Purnomo pun langsung membentuk panitia PTSL. Setelah panitia terbentuk, ia melakukan sosialisasi kepada para penerima program PTSL terkait biaya yang harus dibayar, yaitu sebesar Rp 150 ribu/bidang tanah.

Panitia sepakat membuat pungutan Rp 150 ribu per bidang tanah untuk biaya materai dan patok tanah, kata Sugeng Purnomo kepada kontributor Djavatimes.


Pengakuan Pemohon

Namun kesepakatan itu diduga tidak dijalankan oleh oknum panitia dan perangkat desa yang terlibat dalam pengukuran dan pemasangan patok batas.


Mereka diduga sengaja memanfaatkan momen program PTSL dengan membujuk masyarakat agar tetap membiasakan sikap tak enakan melalui salam tempel (red: pemberian upah melalui amplop).


Masyarakat menyebut, pemohon dibujuk untuk menyetor sejumlah uang tertentu untuk mengganti upah lelah panitia dan perangkat desa yang ikut terlibat dalam proses pengukuran dan pemasangan patok.

Saya dapat informasi dari tetangga yang ikut daftar (PTSL), katanya harus ngasih uang saku kepada setiap yang terlibat dalam pengukuran. Nominalnya minimal Rp 50 ribu per kepala, ujar salah satu pemohon PTSL di Desa Kepanjen yang tidak ingin disebut namanya dalam pemberitaan.


Takut Dijadikan 'Rasan-Rasan'

Merasa tak enak, pemohon ini pun mengikuti anjuran tetangganya. Lantas ia menyiapkan beberapa amplop untuk diberikan kepada petugas pengukur tanah beserta pendampingnya.

Akhirnya pada saat pengukuran di tanah saya, amplop itu saya kasihkan ke setiap petugas. Nominalnya sama dengan yang dikasih tetangga saya (Rp 50ribu per amplop), urainya.


Sebenarnya ia merasa heran dengan kebiasaan memberikan upah kepada seseorang yang sudah menjadi tugas dan kewajibannya. Apalagi sudah mendapatkan imbalan berupa gaji dan tunjangan.

Sebenarnya kan upah lelah mereka sudah diganti dengan tanah bengkok dan penghasilan Siltap. Tapi mau gimana lagi, kalau tidak diturutin ya nanti jadi rasan-rasan (red: omongan tetangga), urai Ibu dua anak itu.


Lebih jauh, ia mengungkapkan cukup ikhlas dengan peristiwa yang menimpanya, meskipun nominal yang diberikan kepada masing-masing petugas merupakan hasil pinjaman dari saudaranya.

Yang penting sertifikat bisa segera jadi. Sekarang saya berusaha ikhlas saja meski harus mengeluarkan uang dari hasil pinjaman, tuturnya.


Meski berharap sertifikat segera jadi, namun dirinya menaruh perasaan cemas lantaran panitia PTSL di lingkungannya hanya berjumlah tiga orang.

Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, apakah mampu panitia bisa menyelesaikan sebanyak 900 bidang tanah dengan waktu yang sudah ditentukan? Semoga pertanyaan itu bisa terjawab dengan keberhasilan, paparnya.


Tanggapan Praktisi Hukum

Mersepon informasi biaya tambahan yang diduga diminta oknum panitia dan perangkat desa, praktisi hukum asal Nganjuk Prayogo Laksono, S.H., M.H. pun angkat bicara.


Dikatakan Prayogo, jika panitia dan perangkat desa benar melakukan penarikan lebih dari kesepakatan, maka hal tersebut termasuk kategori pemerasan. 

Sebagaimana Pasal 12 huruf e terkait Pemerasan dan Pasal 11 terkait Gratifikasi UU RI No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku dapat dipidana dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara, urainya.


Seharusnya, kata Prayogo, apa yang telah menjadi kesepakatan harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

Tidak boleh panitia atau pun perangkat desa menerima apalagi meminta kepada pemohon diluar biaya kesepakatan. Yang namanya sepakat, berarti itu sudah termasuk semuanya, kata Prayogo.


Lebih lanjut pria yang berkantor di Desa Candirejo, Kecamatan Loceret itu meminta agar aparat penegak hukum (APH) dapat terjun langsung menindaklanjuti informasi yang berkembang di masyarakat.

Jika ditemukan kejanggalan, maka harus diusut tuntas. Jangan biarkan mafia berkeliaran di Kabupaten Nganjuk yang kita cintai ini, tutupnya.





(AWA)