Jika Oknum (Polisi) Jelek, Institusi Polri Tidak Sejelek Itu -->

Javatimes

Jika Oknum (Polisi) Jelek, Institusi Polri Tidak Sejelek Itu

javatimesonline
26 Februari 2023

Assoc. Prof. Dr. Oscarius Y.A Wijaya, M.H., M.M., CLI.

OPINI, DJAVATIMES -- Institusi Polri belakangan ini telah menjadi obyek bahasan yang menarik, terlebih lagi bila terjadi pelanggaran oleh oknumnya, contoh mulai kasus Kapolsek yang memperkosa anak tersangka, anggota polisi yang menembak rekan sendiri, pembunuhan berencana Jenderal Sambo (sudah divonis), kasus jual beli narkoba Jenderal Teddy Minahasa (dalam proses persidangan) dan banyak lagi kasus-kasus viral atau sengaja diviralkan dengan label Polri (agar tampak menarik). 


Dapat dimaklumi jika kemudian muncul rasa kecewa di tengah masyarakat (publik) tentang Polri sebagai garda terdepan penegakan hukum (in optima forma) hingga muncul tagar “No Viral, No Justice”. 


Namun belakangan publik di dunia maya (Netizen) telah menjadi suatu kekuatan baru yang seolah dapat mempengaruhi jalan atau tidaknya sebuah kasus yang sedang viral, hingga muncul suatu persepsi bahwa semua yang viral adalah benar.


Penulis berpendapat bahwa mindset (pola pikir) tentang oknum polisi harus diluruskan dan dipahami dengan benar.  Seandainya pun ada sehari satu oknum polisi viral di medsos (berarti setahun ada 365 dugaan pelanggaran oleh para oknum), itu masih jauh di bawah dugaan oknum polisi yang ditangani di internal Polri (tanpa diekspose ke luar). Setidaknya setiap tahun ada 3.000 hingga 6.000 laporan oknum Polisi yang masuk ke Polri dari jalur laporan melalui Komnas HAM, Polhukam, Kompolnas, Propam Polri dan Komisi 3 DPR RI.


Jumlah 3.000 hingga 6.000 laporan per tahun itu artinya ada 8 hingga 16 dugaan oknum polisi per hari (bukan hanya 1 viral sehari di medsos, kalaupun ada). Namun jika jumlah dugaan oknum itu dibandingkan dengan jumlah total kasus pidana yang ditangani saja (belum termasuk pengamanan, seperti demo dan seterusnya) sekitar 200.000 kasus per tahun, dugaan oknum itu hanya mencapai 3.000/200.000 atau 1,5 persen hingga 6.000/200.000 atau 3 persen dari seluruh pekerjaan polisi (penegakan hukum, jika ditambah tugas lain maka akan semakin kecil persentasenya).


Ibarat sapu lidi, personel polisi itu adalah lidi-lidi yang diikat menjadi satu untuk membersihkan “sampah” di masyarakat. Jadi risikonya seperti seikat sapu lidi yang sebagian rontok berguguran karena terus menerus dipergunakan. Hal ini terkait dengan karakteristik pekerjaan polisi di lingkungan yang berlumur noda (tainted occupation). 


Tentunya pasti ada beberapa polisi (oknum) yang "rontok" karena tidak kuat menahan godaan dalam bekerja membersihkan "sampah" masyarakat dan itu prosentasenya 1,5 persen hingga 3 persen per tahun dari kasus yang ditangani atau 97 persen hingga 98,5 persen anggota polisi berkinerja baik.


Semua penyimpangan yang terjadi di internal Polri pasti ditangani dan yang bersalah ditindak, yang terlibat pidana dihadapkan ke pengadilan dan yang terkait kode etik diberikan sanksi kode etik. Sistem reward and punishment di lembaga Polri tetap bekerja sebagaimana mestinya.


Terkait dengan 200.000 kasus yang ditangani polisi yang melibatkan banyak oknum masyarakat dari berbagai lapisan (oknum masyarakat biasa, oknum tokoh masyarakat, oknum politisi, oknum pejabat, oknum ormas, dan sebagainya) sebagian besar tidak ada atau jarang yang melabelkan atau mengaitkan perbuatan negatif itu terhadap wilayah, lembaga/institusi dimana mereka berada (misalnya di suatu wilayah kabupaten/kota,anggota partai,anggota ormas tertentu, dan sebagainya).


Kalau masih ada yang merasa lebih tahu, pertanyaan sederhananya, berapa hari sekali kita mendapatkan berita soal oknum polisi? Coba bertanya pada diri kita sendiri.  


Apakah melebihi berita-berita di media sosial?  Jika memang bisa menjawab maka tolong dijawab dengan angka! Bahkan seandainya berita di media sosial itu ada setiap hari, masih kalah jauh dibanding dengan jumlah oknum yang ditangani oleh Kepolisian sebagai hukum yang hidup (the living law) dan juga kalah jauh dengan jumlah anggota Polri yang berkinerja baik (selebihnya baca penjelasan data di atas).


Jika siapapun yang hanya berdasarkan persepsi liar, tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana untuk mengukur pengetahuannya soal oknum polisi yang melanggar yang juga telah ditangani di internal Polri, maka itu adalah petunjuk sebening kristal bahwa PERSEPSI MEREKA TERAMAT JAUH MELEBIHI PENGETAHUANNYA !!! oleh karena itu janganlah berpersepsi tanpa pengatahuan atau data yang memadai. 


Perlu kita sadari bahwa apa yang berkembang (viral) sebenarnya belum tentu benar, karena ada unsur emosi dan persepsi tanpa dibekali pengetahuan hukum atau pengetahuan sosial yang memadai di situ. Hal ini berbahaya sekali karena dapat menciptakan bias konfirmasi (confirmation bias) dimana yang dianggap oleh publik bersalah sudah diadili sebelum berproses hukum dengan mengesampingkan fakta yang ada.


Lebih celaka lagi jika para penegak hukum pun (penyidik, jaksa, dan hakim) turut terpengaruh pula oleh bias konfirmasi itu sehingga pelaku harus menerima hukuman yang jauh lebih berat dari hukuman yang setimpal sesuai dengan tingkat kesalahannya. 


Ingat, jangan menghukum seseorang lebih berat dari kesalahannya. Pada prinsipnya hukuman bukanlah alat untuk balas dendam (lex talionis) sebagaimana yang diterapkan oleh  aliran klasik, ini sudah terlalu tua dan purba untuk diterapkan. Hukuman pidana modern selain untuk menimbulkan efek jera bagi pelakunya, hukuman tersebut juga diharapkan memperbaiki perilakunya (rehabilitatif).


Kembali kepada tema polisi di atas, marilah kita bantu Polri untuk semakin modern dan lebih baik dalam berorganisasi dan melayani masyarakat, jangan terlalu mendiskreditkannya namun jangan pernah pula lelah untuk mengkritiknya agar Polri tidak jelek. 


Profesor Mahfud MD yang mengutip Cendekiawan Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan bahwa “60 tahun dengan polisi yang jelek itu jauh lebih baik daripada semalam tanpa polisi". Hal ini terbukti bahwa Polisi adalah sosok yang dibenci (saat kita melanggar) dan dirindu (saat kita dalam bahaya).




Penulis : Assoc. Prof. Dr. Oscarius Y.A Wijaya, M.H., M.M., CLI.

Penulis adalah Rektor STIE Indonesian European University (IEU) Surabaya, Senior Consultant pada Optimus Law Firm Surabaya, Mahasiswa Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Airlangga Surabaya