MENGGERTAK TATA PEMERINTAHAN DARI PERSPEKTIF KAPPA -->

Javatimes

MENGGERTAK TATA PEMERINTAHAN DARI PERSPEKTIF KAPPA

javatimesonline
02 Juli 2022
Putriyana Asmarani, Penulis Resensi Buku Berjudul "Kappa"


Sejauh mana imaji tata pemerintahan yang genah dalam pikiran orang-orang utopis? Manusia utopis yang melahirkan kata utopia itu sendiri, dikabarkan membubuhkan buah pikiran dalam sebuah buku berjudul "Utopia" pada tahun 1516.


Setelah 376 tahun terbitnya buku tersebut, seorang bayi utopis dan bombastis lainnya lahir di Jepang, bernama Ryunosuke Akutagawa. Seperti Sir Thomas Moore yang menulis "Utopia" pada tahun 1516, Ryunosuke Akutagawa juga menulis imaji tata pemerintahan dalam novelanya yang berjudul "Kappa" pada tahun 1927.


Puluhan karya-karya sastra tentang imaji tata pemerintahan tak ada mampetnya, dari "The Republic" yang ditulis Sebelum Masehi (SM) milik Plato hingga sastrawan kondang George Orwell yang menumpahkan dua karya magnetis tak lekang oleh waktu berjudul "Animal Farm" yang terbit di tahun yang sama saat Indonesia merdeka dan "1984" yang terbit pada tahun 1949.


Lantas, mengapa saya dengan dramatisnya ingin mengulik "Kappa" karya Senpai Ryunosuke Akutagawa ini? Ujung pena saya tidak mendarat untuk mencecahkan ungkapan-ungkapan pembeda. Tapi, saya akan sedikit menorehkan sejauh mana arus tinta imaji tata pemerintahan ini mengalir.


Salah satu faktor penentu narasi-narasi yang ciamik adalah memilih lakon yang tepat. Bisa jadi itu adalah sekelompok manusia yang berseragam sama, tak berduit, dan menggarap sawah dengan panjang dan lebar yang sama. Bisa jadi itu adalah dua ekor babi gembrot dan babi kerempeng yang bergulat pemikiran. Bisa jadi seperti "Kappa", makhluk mitologi yang keberadaannya paling-paling tak terbesit sama sekali di pikiran warga Jepang yang logis dan materialis.


Bumbu penyedap novela "Kappa" adalah memilih karakter yang paling tak bisa dipercaya. Uniknya lagi, ketika melihat arus dalam novela ini mengalir, muara yang tercipta bukan untuk memercayai bahwa "Kappa" itu ada. Tapi, muara novel ini seakan menyentil sisi kesadaran pembacanya pada titik;

Lihat itu! Makhluk paling ‘nggilani’ sejagad raya macam Kappa saja bisa mengurus warganya dengan baik. Masa kau manusia berdasi, berseragam rapi, wangi, dan jelita tidak bisa mengurus diri sendiri, apalagi semua orang dalam satu negara.

 

Uang adalah sumber kekisruhan, tak punya uang apalagi.


Di atas adalah kutipan yang saya petik dari dua manusia yang idenya cukup bertolak belakang: sang agamis Paul dan sang humoris Mark Twain. Negara yang ideal menurut Moore adalah negara yang tidak mencetak selembar pun uang dan sebiji pun koin. Jadi, tatanan masyarakat tanpa kelas hanya bisa dibentuk ketika semua manusia dalam negara itu tak berduit, ya, tak berduit sama sekali.


Orwell, baik dalam "Animal Farm" maupun "1984", tak berduit justru bikin hidup pelik. Gampang sekali mengatur orang tak berduit untuk jadi boneka yang tunduk-patuh-tak mempertanyakan tata pemerintahan yang rusak. Tekanan-tekanan finansial membuat orang bersedia diceburkan ke mana saja, meski itu got, demi mengisi perut yang kosong. Jangankan tekanan finansial, mendukung pemerintah yang otoriter bisa dilakukan oleh orang-orang yang pada dasarnya sudah kaya juga.


Akutagawa tidak terlalu membahas duit, sebagai gantinya, ia mendobrak eksistensi "Kappa" yang dianggap menjijikkan. Orang yang mati meninggalkan kesan pada orang yang masih hidup. Kesan itu lebih dari total saldo di bank, mungkin lebih seperti, “emangnya hidup selama ini kau udah ngapain aja?” Ada dua gertakan dalam novela "Kappa", kelahiran dan kematian.


Secuil dari kisahnya, bayi Kappa dalam rahim pun bisa protes pada bapaknya, kalau ia tak mau dilahirkan. Kappa yang meninggal juga tidak hanya membusuk di dalam tanah, keberadaan mereka tetap diperhitungkan, dan dalam situasi tertentu hantu-hantu Kappa masih bisa ikut campur dalam urusan tata pemerintahan. Dalam berbagai kesempatan, polisi juga bisa mewawancarai mereka yang telah tiada.

Buku Kappa (Foto Buku: Dokumentasi Penulis)


Di luar kisah "Kappa" itu sendiri, novela ini ditulis pada saat Akutagawa menghadapi titik terendah dalam hidupnya. Kappa telah lahir dan dirangkul dalam dunia sastra, namun Akutagawa bunuh diri kemudian pada tahun 1927. Penikmat Kappa mungkin tidak akan punya kesempatan mengangkat topi di hadapan penulisnya langsung kecuali di depan tempat peristirahatan yang sunyi senyap.


Alih-alih menangkat topi, penikmat "Kappa" mungkin merasakan jiwa lain tumbuh dalam diri mereka. Jiwa Akutagawa. Sebelum bunuh diri, Akutagawa mengalami masa-masa depresi dan halusinasi yang cukup kritis. Ia tak lagi bisa membedakan kapan tubuhnya menghadapi alam realita dan alam mimpi. Pintu novela "Kappa" dibuka dengan selembar kondisi kejiwaan Akutagawa sendiri. Halaman-halaman awal adalah solilokui seorang lelaki yang sangat realistis. Sehingga, transisi dari kenyataan dan halusinasi itu, meski dalam segi kebahasaan terasa ringan, suasana yang dibawa terasa sunyi.


Meski serius, Orwell juga memberikan banyak lelucon pada babi-babi yang ia kenalkan pada pembaca. Satir garapan Orwell kerap membuat para pembaca tersenyum. Sesekali dalam potret kehidupan "Kappa", saya menemukan kelucuan tertentu, tapi itu tidak membuat saya tertawa. Bukan berarti lelucon Akutagawa biasa saja. Saya merasakan serpihan jiwa Akutagawa dalam badan novela "Kappa", dari alur dan gerak para tokohnya. Sehingga lelucon itu terdengar begitu menggenaskan bila dibandingkan dengan manusia yang konon adalah spesies paling beradap di bumi.


Saya menyarankan untuk mencari edisi novela "Kappa" yang lengkap dengan ringkasan biografi penulisnya. Ini sungguh sangat membantu. Dunia Ryunosuke Akutagawa terbentuk dari banyak tragedi. Dari orang tua yang sangat abusive, hingga sampai pada titik itu, titik di mana Akutagawa melayangkan salam perpisahan dengan sangat tak terduga.


"Kappa", kesan terakhir dari saya adalah, tata masyarakat dan pemerintahan juga bisa muncul dengan sangat brilian ide orang yang sedang depresi dan mengalami penyakit kejiwaan. Lalu bagaimana dengan kita yang telah melakoni berbagai healing? Sungguh ironis, semestinya ada sesuatu yang bisa kita perbaiki di sekitar kita, dengan jiwa yang sehat ini.


Resensi Buku

Judul: Kappa

Penulis: Ryunosuke Akutagawa

Penerbit: Tuttle Publishing

Tahun terbit: 2000

Total Halaman: 141



Putriyana Asmarani adalah bookblogger dengan akun Instagram Putri_shelf. Perempuan Juli ini aktif mengulas berbagai buku sastra baik klasik maupun modern. Cerpennya berjudul Mr. Turtle’s Court terbit di The Jakarta Post. Risetnya tentang Politik Identitas Raja-raja Melayu mendapatkan beasiswa dari National University of Singapore.