Suasana persidangan kasus dugaan korupsi yang menjerat Eks Kepala Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan (TPHP) Lamongan, Rujito dan kotraktor Mohammad Zaenuri |
LAMONGAN, Djavatimes -- Eks Kepala Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan (TPHP) Lamongan, Rujito dan kotraktor Mohammad Zaenuri menjalani sidang perdananya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, kemarin (21/2).
Sebelumnya, Rujito ditangkap karena diduga terlibat kasus korupsi proyek pengurukan tanah di Kantor Dinas Pertanian di Panglima Sudirman Lamongan pada tahun 2017 silam, saat itu ia sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang juga merupakan Sekretaris Dinas TPHP. Sementara Zainuri juga ditangkap dengan kasus yang sama, dimana saat itu dirinya sebagai kontraktor yang memenangkan lelang tender melalui Layanan Pengadaan System Elektronik (LPSE).
Berdasar keterangan Jaksa Penuntut Umum (JPU), atas proyek pengurugan yang dilakukan Rujito dan Zaenuri, negara mengalami kerugian ditaksir mencapai Rp 564 juta. Karenanya, keduanya terancam pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun.
Terdakwa (Rujito dan Zaenuri) mengikuti persidangan secara virtual dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Lamongan. Sedangkan JPU dan penasihat hukum (PH) berada di PN Surabaya. Beberapa anggota keluarga terdakwa juga tampak hadir di pengadilan untuk menyaksikan jalannya persidangan.
Agenda sidang terhadap keduanya pembacaan dakwaan. Jaksa mendakwa Rujito dan Zaenuri dengan pasal berlapis. Yakni Pasal 2 dan Pasal 3 UU nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas dakwaan tersebut, terdakwa Rujito diwakili PH-nya mengajukan eksepsi. Sedangkan terdakwa Zaenuri tidak keberatan atas dakwaan dari jaksa, tutur Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Lamongan Anton Wahyudi
Sebab, menurut kami, dakwaan yang dibacakan JPU tadi cermat dan tidak jelas, papar Prayogo.
Dikatakannya tidak cermat, karena JPU salah menggunakan dasar pengambilan sampel audit dalam penerapan kerugian negara.
Seharusnya yang berhak menghitung kerugian negara dalam proyek urugan ini adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bukan instansi dibawahnya. Hal tersebut sebagaimana amanat SEMA No. 4 tahun 2016, tuturnya.
Kemudian, lanjut Prayogo, yang lebih penting selain itu ialah unsur tindak pidana yang didakwakan JPU dalam dakwaan kesatu dan kedua adalah sama.
Sedangkan pasal pidana yang didakwakan berbeda. Atas fakta rumusan dakwaan JPU tersebut, maka kami menilai dakwaan tersebut kabur, tidak cermat, dan cacat hukum, ujar Prayogo.
Berdasarkan Pasal 143 ayat (3), yang menegaskan surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, maka batal demi hukum, pungkas Prayoyo Laksono.
(AWA)